mechanisme

mechanisme
MECHANICAL ENGINNERING

Selasa, 31 Mei 2011

contoh studi kasus produk Gagal

Produk Gagal Ban Bridgestone / Firestone Inc

Studi Kasus pada Tahun 2000 Bridgestone/Firestone Inc telah menarik 6,5 juta produk ban-nya. salah satu dari penarikan part produk otomotif Berbahaya terbesar di Dunia. penarikan tersebut diakibatkan karena kecurigaan atas kematian 175 orang dan 700 orang korban luka-luka akibat pecah ban. produsen pesaingnya GOODYEAR juga mengalami masalah yang pada produk ban-nya yang barhubung dengan kecelakaan yang mengakibatkan kematian 15 orang dan 120 orang luka-luka.

Produk Gagal Suzuki Arashi 125


Motor keluaran suzuki yang mulai diluncurkan pada Tahun 2005 ini diposisikan sebagai pendamping Shogun 125 dengan fitur lampu ditengah dan mesin lebih sedikit bertenaga dibanding shogun 125, namun produk ini kurang laku di pasaran sebab konsumen 'merasa' aneh dengan bentuk bebek seperti ini dan mereka cenderung menyukai lampu dibatok saja , padahal dari sisi mesin produk ini lebih baik dibanding supra - x 125, hl ini disebabkan brand image suzuki yang terkenal kencang tapi sedikit boros, spareparts yang mahal karena hanya tersedia original,jaringan service yang sedikit dibanding honda , dan harga jual kembali yang jatuh padahal sesungguhnya produk ini tidak seperti itu.
Pada akhirnya Tahun 2007 awal suzuki menghentikan produksi motor ini dan konsen dengan produk andalan mereka yaitu suzuki shogun 125 yang namanya masih diterima dimasyarakat walaupun angka penjualannya belum melampaui angka penjualan supra-x 125.


Kualitas Produk dan ‘Produk Gagal’
Istilah ‘Produk Gagal’ sesungguhnya istilah yang diberikan kepada produk (barang ataupun jasa) yang mutu atau kualitasnya tidak memenuhi standar yang disyaratkan. Standar mutu/kualitas bisa berasal atau ditetapkan dari pabrik atau bisa pula berdasarkan ketentuan standar secara umum dari luar pabrik. Dari pabrik sendiri menetapkan standar mutu sebagai bagian dari ciri khas produk yang membedakannya dengan produk-produk lainnya yang sejenis (produk pesaing).

Pihak pabrik terkadang juga menerapkan standar mutu lain yang berasal dari organisasi standar mutu seperti ISO (International Organization for Standardization) atau yang berasal dari dalam negeri seperti SNI (Standar Nasional Indonesia). Selain itu, standar mutu tambahan lainnya juga berasal dari regulasi yang mengatur mengenai ketentuan ataupun persyaratan suatu produk baik barang maupun jasa. Misalnya, regulasi pemerintah tentang standar keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam menggunakan atau mengkonsumsi produk.

Jika dalam pengujian mutu (untuk produk jenis barang) ditemukan mutu produk di bawah standar yang ditetapkan oleh pabrik, maka produk (barang) tersebut dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’. Pengujian mutu tidak hanya dilakukan di dalam pabrik, akan tetapi dapat pula setelah produk tersebut beredar di pasar atau dikonsumsi oleh masyarakat. Jika selama dikonsumsi ditemukan cacat atau ketidaksesuaian dengan mutu yang dijanjikan oleh pabrik, maka produk tersebut dikategorikan ‘Produk Gagal’.

Untuk produk jenis jasa tentunya memiliki cara pengujian mutu yang berbeda dengan produk jenis barang. Kualitas jenis layanan jasa baru bisa terlihat secara nyata apabila layanan tersebut telah dijalankan atau telah dinikmati oleh konsumen. Penilaian kualitas dipertimbangkan berdasarkan penilaian konsumen berupa kepuasan dan banyaknya (kuantitas) layanan yang telah dimanfaatkan atau dikonsumsi. Dalam hal ini, produk jasa dapat dikategorikan ‘Produk Gagal’ apabila kinerja kualitas layanan tidak memenuhi kepuasan yang diharapkan konsumen.

Ada dua pihak yang dianggap paling tepat mengeluarkan pernyataan ‘Produk Gagal’, yaitu pihak perusahaan atau pabrikan, dalam hal ini bagian pengendali mutu (quality control) dan lembaga konsumen. Apabila dari pihak perusahaan/pabrikan mendasarkan pada standar khusus yang ditetapkan perusahaan/pabrikan, maka pihak lembaga konsumen mendasarkan pada fungsi produk dan kesesuaian dengan spesifikasi yang dijanjikan oleh pihak pabrikan. Pihak lain yang bisa menjadikan suatu produk dikategorikan ‘Produk Gagal’ adalah pemerintah (regulator).

Beberapa Contoh Kasus
Bulan Januari 2009, di rumah kami sudah terjadi pemadaman listrik hingga lebih dari 10 kali. Ini sudah berkurang dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya. Untuk air minum yang berlangganan melalui PAM, tidak jarang kami mendapatkan air ledeng yang keruh. Sementara itu, kami di rumah tidak pernah sekalipun terlambat membayar tagihan baik listrik maupun PAM. Bagi PLN maupun PAM, layanan jasa (produk) yang diberikan tidak dikategorikan ‘Produk Gagal’ karena dianggap masih memenuhi standar layanan yang mereka tetapkan. Namun, bagi lembaga konsumen seperti YLKI, kedua layanan jasa ini dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.

Di Indonesia ada cukup beragam merek suku cadang kendaraan bermotor yang beredar di pasaran baik roda dua maupun roda empat (termasuk truk dan bis). Sebagian industri otomotif yang beroperasi di Indonesia seperti Honda, Suzuki, Yamaha, dan nama-nama lain beranggapan jika merek suku cadang yang bukan mereka produksi bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’. Sekalipun dapat difungsikan, akan tetapi standarisasi kualitas tidak sesuai dengan yang direkomendasikan pabrik sehingga dianggap pula mempengaruhi fungsi. Namun, bagi pelaku industri komponen (suku cadang), produk mereka bukan ‘Produk Gagal’ karena standar kualitas masih difokuskan pada fungsi.

Jika berpedoman pada standar mutu pabrikan secara umum yang produknya dipasarkan di Indonesia, produk-produk Cina (RRC) bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’. Sekalipun dapat difungsikan atau dioperasikan, akan tetapi kualitas atau kinerja produk tidak sesuai dengan umumnya produk-produk yang pernah dikonsumsi masyarakat Indonesia. Pada akhir tahun 2008 lalu, merek produk makanan dari Cina sempat ditarik peredaran seperti produk makanan yang mengandung kadar susu bermelamin.

Pihak pemerintah pun juga menghasilkan produk yang disebut jasa layanan kepada masyarakat atau jasa pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat membayarnya melalui pajak dan berbagai pungutan resmi lainnya. Sekalipun dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi kinerja layanan tidak seperti yang diinginkan atau diharapkan masyarakat, maka produk layanan pemerintah tadi bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’. Dari pihak pemerintah sendiri tidak demikian karena masih bisa difungsikan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Produk-produk industri yang berasal dari kelompok uni usaha kecil dan menengah (UKM) tentunya memiliki kualitas yang secara umum masih di bawah standar kualitas nasional. Usia usaha yang masih relatif baru dan modal yang lebih banyak diusahakan sendiri tentunya menjadikan unit-unit usaha seperti UKM belum mencapai standar mutu nasional, setidaknya yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jika merujuk pada pengertian produk yang secara mutu, maka tidak sedikit produk yang dihasilkan dari UKM di Indonesia bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.

Lulusan perguruan tinggi dengan jenjang S-1 pun bisa diberlakukan istilah ‘Produk Gagal’. Pihak perguruan tinggi mengklaim produknya berhasil karena dianggap mampu melewati tahapan persyaratan akhir studi. Ketika dibuka ‘Job Fair’, maka disitulah kemudian dikerumuni ribuan calon tenaga kerja terdidik (S-1). Hanya sedikit dari mereka yang bisa diterima dan sebagian besar lainnya kemudian menganggur. Tidak sedikit pula dari mereka yang diterima tidak mampu menaikkan nilai (value) perusahaan kecuali hanya sekedar menjalankan aktivitas operasional rutin. Tidak ada inovasi dan tidak ada pula kreativitas untuk menciptakan nilai tambah dari latar belakang pendidikannya sendiri. Selain mutu yang diharapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan pencari kerja, dari mereka lulusan S-1 itu sendiri tidak banyak berbuat sesuatu yang bisa menaikkan nilai tambah setidaknya bagi dirinya sendiri. Jika kondisi seperti ini yang terjadi, maka lulusan perguruan tinggi S-1 tadi dapat dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.

Kader suatu partai politik (parpol) adalah bakal dari produk politik dari parpol itu sendiri. Para kader ini nantinya yang akan menempati posisi di tingkat struktural organisasi, jabatan di pemerintahan, ataupun di parlemen. Apabila setelah menempati posisi-posisi tersebut, mereka (produk parpol) tidak dapat menjalankan tugas atau tidak dapat menghasilkan pekerjaan sesuai yang diharapkan atau diinginkan, sesuai dengan standar berupa amanat ataupun program kerja, maka produk parpol tadi pun bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.

Penutup
Masih banyak sekiranya contoh kasus yang berkaitan dengan istilah ‘Produk Gagal’. Tidak hanya dibatasi pada lingkup organisasi produksi (pabrikan), akan tetapi bisa lebih luas lagi berdasarkan pengertian produksi. Jika membicarakan tema tentang ‘Produk Gagal’, maka di sini sedang berbicara tentang aspek kualitas atau mutu produk. Perlu digarisbawahi di sini, selain aspek kualitas, terdapat aspek fungsional produk yang juga sering menjadi orientasi organisasi produksi dalam menghasilkan produk.

Pihak yang paling berkompeten atau berhak menentukan produknya dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’ adalah pihak pabrikan atau perusahaan itu sendiri. Pihak lain seperti dari lembaga konsumen ataupun pemerintah hanyalah memberikan rekomendasi untuk mendorong pengakuan pihak pabrikan atau perusahaan. Dalam banyak kasus, ‘Produk Gagal’ pun masih dilempar ke pasar dengan lingkup yang terbatas dan harga yang tentunya lebih rendah. Dalam hal ini, pihak perusahaan hanya menggunakan standar mutu minimal dan lebih memperhatikan aspek fungsional dari produk itu sendiri. Tidak semua mutu yang ditetapkan pihak pabrikan dibutuhkan secara utuh oleh konsumen atau pembeli.

‘Produk Gagal’ dalam konteks apapun tidak memiliki korelasi atau keterkaitan dengan peristiwa perusahaan gulung tikar ataupun nyaris bangkrut. Dalam hal ini, perusahaan yang gulung tikar atau nyaris bangkrut berkaitan dengan aspek persaingan dan daya tahan usaha. Sekalipun produknya dikategorikan ‘Produk Gagal, akan tetapi masih diterima masyarakat, maka perusahaan akan tetap bertahan. Sekalipun tidak diterima masyarakat, akan tetapi pihak perusahaan mampu mencari dukungan modal, maka perusahaan pun akan tetap bertahan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar